TUGAS 7 PROFESI
KEPENDIDIKAN
Permasalahan Pendidikan
Serta Rekomendasi untuk Pemerintahan Baru
Salah
satu cita-cita kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti yang termaktub
dalam Pembukaan (Preambule) Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia Tahun 1945 yang merupakan konstitusi Negara Indonesia adalah
“mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hal ini membuktikan bahwa pendidikan merupakan
komponen utama dalam pembangunan Negara kita ke depannya. Pendidikan merupakan
ujung tombak dalam proses pembangunan negara dan arah Negara ini ke depannya
tergantung pada arah pendidikan kita dan wajah-wajah anak didik kita saat ini.
Dalam batang tubuh Undang –Undang Dasar 1945 tersebut, yaitu di Pasal 31 ayat 1
disebutkan bahwa “Pendidikan merupakan hak warga Negara”. Sehingga tanggung
jawab penyelenggaraan pendidikan bagi setiap warga Negara di Indonesia
merupakan milik Negara. Negara harus menjamin pemenuhan hak yang dalam hal ini
adalah hak atas pendidikan tersebut. Negara harus menyelenggarakan serta
menjamin pendidikan dalam setiap tingkatan baik pendidikan dasar, menengah
maupun pendidikan tinggi.
Pada hakekatnya proses pendidikan
merupakan proses pemberdayaan seseorang untuk membentuk kepribadian dan
menciptakan integritas dirinya sendiri. Oleh karena itu pendidikan kita
memerlukan orientasi dan arah yang jelas sesuai dengan cita-cita dan tujuan
negara.
sisi
intelektualnya, akan tetapi juga kepribadian, etika, dan estetika dari dalam
potensi diri si Pembelajar. Namun arah pendidikan kita saat ini terlihat sangat
jauh dari cita-cita para pendahulu. Pendidikan dewasa ini seperti menjadi
komoditas dan dagangan saja. Tengoklah biaya pendidikan saat ini mahal dan hal
itu merata di semua tingkatan pendidikan. Sekolah dan Perguruan Tinggi
berlomba-lomba mempromosikan dirinya sebagai “mesin pencetak pekerja” yang
paling unggul. Dengan adanya kebijakan Badan Hukum Pendidikan, biaya pendidikan
yang seharusnya ditanggung Negara diserahkan kepada masing-masing institusi
pendidikan melalui biaya pendidikan yang sangat tinggi.
Permasalahan Pendidikan
Seperti yang disebutkan di atas
bahwa pada hakekatnya proses pendidikan merupakan proses pemberdayaan seseorang
untuk membentuk kepribadian dan menciptakan integritas dirinya sendiri. Melalui
aktivitas pendidikan itulah seseorang diharapkan dapat memperoleh kemampuan
yang dibutuhkan dirinya sendiri maupun oleh masyarakat, dan negara sehingga
mampu memberikan kontribusi nyata sesuai dengan kapasitas kompetensinya.
Kompetensi individual sebagai hasil belajar, diharapkan mampu menjadi modal
dasar berkontribusi di masyarakat untuk melakukan perubahan yang tentu saja ke
arah yang lebih baik). Oleh karena itu pendidikan kita memerlukan orientasi dan
arah yang jelas sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara. Itu sebabnya dalam
implementasinya pendidikan seharusnya tidak sekedar mendidik seseorang dari
sisi intelektualnya, akan tetapi juga kepribadian, etika, dan estetika dari
dalam potensi diri si Pembelajar.
Dengan bekal keseimbangan pribadi
seperti itulah, peserta didik kita, diharapkan mampu menjadi agen perubahan (agent
of change) untuk menciptakan arah pembangunan bangsa yang sesuai dengan
prinsip-prinsip luhur bangsa Indonesia seperti yang disampaikan oleh para Founding
Fathers.
Namun sayangnya arah pendidikan saat
ini terlihat sangat jauh dari cita-cita para pendahulu. Pendidikan dewasa ini
seperti menjadi komoditas dan dagangan saja. Institusi pendidikan (sekolah)
yang berorientasi pada selera pasar tak ubahnya seperti menjadi pabrik pencetak
mesin mesin manusia siap kerja namun miskin inovasi. Pendidikan kita yang hanya
berorientasi pada hasil (yang dijawantahkan dengan nilai tertulis) tanpa
memperhatikan
Permasalahan Pendidikan
Serta Rekomendasi untuk Pemerintahan Baru
prosesnya
menjadikan hasil anak didik menjadi insan-insan yang hanya berorientasi pada
hasil dan uang saja. Begitu pula akibat mahalnya biaya pendidikan yang ada
menjadikan para orang tua mengharapkan bahwa biaya (investasi) yang mereka
keluarkan untuk menyekolahkan anaknya haruslah kembali berlipat-lipat ganda,
sehingga memaksa anak hanya berorientasi untuk mencari pekerjaan dengan gaji
yang besar tanpa lagi memikirkan hakikat pendidikan itu sendiri. Pun demikian dengan
institusi pendidikannya sendiri, sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi berlomba
lomba menjadi yang terdepan mempromosikan dirinya sebagai “mesin pencetak
pekerja” yang paling unggul. Dengan adanya kebijakan Badan Hukum Pendidikan.
Biaya pendidikan yang seharusnya ditanggung Negara diserahkan kepada
masing-masing institusi pendidikan melalui biaya pendidikan yang selangit
itu.Tentu saja permasalahan ini harus dicari solusinya bersama.
Sistem pendidikan yang top-down (dari
atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh
pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini
sangat tidak membebaskan dan mencerdaskan karena para murid dianggap
manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa dan guru dianggap tahu segalanya. Guru
sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis
apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang
diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan
dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan,
pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang
disampaikan guru. Tentu saja sistem pendidikan yang seperti ini sangatlah
menyiksa dan hanya menindas para murid karena para murid hanya dipaksa menjadi
objek pembelajaran tanpa memiliki kesempatan untuk berinovasi dan mengembangkan
bakat serta kemampuannya sendiri.
Dengan mengacu kepada model
pendidikan yang seperti itu, maka manusia yang dihasilkan oleh model pendidikan
ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis
terhadap keadaan. Sehingga manusia-manusia yang dihasilkan adalah mereka yang
apatis dan kekurangan empati terhadap keadaan sekitarnya.
Pendidikan Dasar dan Menengah
Dapat kita lihat bersama, bahwa
pendidikan nasional kita terutama pendidikan dasar dan menengah kita selama
sepuluh tahun terakhir terpuruk. The Learning Curve 2014, yang
baru
Permasalahan Pendidikan
Serta Rekomendasi untuk Pemerintahan Baru
dirilis
Pearson memposisikan Indonesia sebagai sebuah negara dengan sistem pendidikan
terburuk, yaitu berada pada urutan terakhir dari 40 negara. Tahun lalu,
Indonesia berada pada urutan 39 dari 40 negara. Keterpurukan ini terjadi karena
berbagai macam kebijakan pendidikan yang abai terhadap nilai-nilai moral dan
prinsip-prinsip pedagogi-pembelajaran. Untuk itu, ada 3 hal fundamental yang
bisa dilakukan oleh Pemerintahan yang baru untuk meningkatkan kualitas
pendidikan nasional. Ketiga hal tersebut yaitu: permasalahan Kurikulum 2013,
Ujian Nasional dan Keragaman di Sekolah Negeri. Apabila permasalahan dalam
ketiga hal tersebut dapat diselesaikan maka harapan untuk Pendidikan Nasional
yang lebih baik dapat kita capai.
Lalu diluar hal tersebut kita
haruslah melihat di mana posisi pendidikan nasional kita saat ini. Berdasarkan
assesment internasional, yaitu test PISA (membaca) dan TIMMS (Bernalar) posisi
siswa Indonesia selalu jeblok (2003, 2006, 2009 dan 2012), sehingga kualitas
siswa di Indonesia dapat dikatakan terbelakang apabila berkaca pada hasil
assessment tersebut. Tidak berbeda jauh dengan kualitas siswanya, kualitas guru
di Indonesia juga tergolong rendah. Berdasarkan penelitian World Bank (2012)
kualitas guru Indonesia terendah (urutan 12 dari 12 negara Asia), bahkan hasil
UKG hanya 4,3. Kualitas guru di Indonesia sangat memprihatinkan, banyak yang
tidak pernah mengikuti pelatihan sehingga kualitasnya tidak ada peningkatan.
Guru di Indonesia juga banyak yang pemalas dan mencari jalan pintas dalam mendidik
murid-muridnya.
Prestasi buruk siswa dan guru di
Indonesia tersebut seolah-olah didukung dengan hasil penelitian tentang sistem
pendidikan di Indonesia yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan Indonesia
terburuk bersama Brazil dan Meksiko berdasarkan Assesment Pearson (2012),
bahkan di tahun 2014 Indonesia malah dibawah Brazil dan Meksiko.
Parahnya, Pemerintah kita seperti
tidak bisa memformulasikan obat yang tepat untuk menanggulangi segala jenis
keburukan dalam Pendidikan Nasional kita tersebut. Pemerintah kita malah
meresmikan kurikulum 2013 yang mereka sebut sebagai “obat” untuk menyelesaikan
permasalahan pendidikan yang terjadi. Namun seperti yang kita ketahui kesalahan
dalam pemilihan obat, malah bisa mengakibatkan kehancuran bagi bangsa Indonesia.
Kurikulum 2013 seperti yang kita
lihat tidak pernah dapat mengklasifikasikan siapa itu guru, siapa itu murid dan
hal yang lainnya. Dalam faktor mata pelajaran, ilmu pengetahuan yang disebut
berkembang pesat, secara materi dianggap materi pelajaranlah yang penting.
Permasalahan Pendidikan Serta
Rekomendasi untuk Pemerintahan Baru
padahal
bukan hanya belajar materi yang penting namun belajar hal lain seperti
pembentukan karakter juga penting untuk menjaga kualitas anak didik kita. Namun
sebagaimana yang kita lihat, pemerintah hanya memaksa anak didik kita untuk
belajar dengan buku dan materi tanpa melihat hal lain seperti pembentukan
karakter tersebut. Parahnya mata pelajaran di seluruh Indonesia disamaratakan,
anak didik di Jakarta mendapatkan pelajaran yang sama dengan di Papua. Padahal
kita tahu bahwa, sarana dan prasarana tiap-tiap daerah berbeda serta konsep
pendidikan tiap daerah berbeda, sehingga pemaksaan tersebut merupakan kesalahan
yang sekali lagi dilakukan oleh pemerintah kita tanpa perhitungan.
Lebih jauh, Kurikulum 2013 sangat
kacau dalam implementasinya. Sudah hampir setahun dari dilaksanakannya
kurikulum ini namun distribusi buku pelajarannya masih belum terkirim dengan
merata. Ditambah banyaknya pelajaran yang harus diambil oleh siswa tentu sangat
membebani siswa, bukannya membebaskan mereka.
Selain masalah-masalah tersebut,
masalah lain yang tidak kalah pentingnya yaitu permasalahan Ujian Nasional
(UN). Ujian Nasional yang dijadikan tolak ukur penentu kelulusan malah
mengakibatkan runtuhnya moral para siswa karena kecurangan UN semakin lama
semakin sistemik dan massif, UN jugalah hanya menjadi ajang penghamburan uang
negara karena hasilnya tak mengukur apapun dari kualitas pendidikan Indonesia,
karena kecurangan yang terjadi tentu saja mengakibatkan lebih dari 90 % siswa
pasti lulus, tapi sekali lagi hal tersebut membuktikan bahwa UN sama sekali
tidak dapat mengukur apapun.
Pemerintah kita selalu melihat tolak
ukur pendidikan dari hasil, bukan dari proses. Kemenangan di lomba-lomba (olimpiade,
dll) dianggap menjadi tolak ukur pendidikan. Sehingga kita dapat melihat bahwa
menang pendidikan kita semakin dijauhkan dari tujuannya, sejatinya pendidikan
mempertajam pikiran dan menghaluskan perasaan, bukan membebani siswa dan
menjadi momok bersama.
Perlu ditekankan juga bahwa LBH
Jakarta bersama jaringan advokasi yang melakukan penolakan terhadap UN (TEKUN)
telah melakukan Gugatan Warga Negara (Citizen Law Suit) untuk
menghapuskan UN dan dikabulkan hingga Mahkamah Agung. Namun pemerintah masih
membangkang dan tetap mengadakan UN.
Pendidikan Tinggi
Khusus untuk permasalahan pendidikan
tinggi, selain daripada ketentuan dalam Konstitusi, ketentuan internasional
juga menjamin pemenuhan akan hak atas pendidikan
Permasalahan Pendidikan
Serta Rekomendasi untuk Pemerintahan Baru
tersebut,
hal tersebut termaktub dalam Kovenan Ekonomi Sosial dan Budaya (Ekosob) yang
diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 Pasal 13 ayat 2C yang
menyatakan bahwa “Pendidikan tinggi juga harus tersedia bagi semua orang
secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya
melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap”. Sehingga cukup
jelas bahwa Negara dalam hal ini diwakilkan oleh Pemerintah berkewajiban untuk
menyelenggarakan pendidikan tinggi tersebut.
Namun sepertinya cita-cita itu masih
sangat jauh dari harapan. Perguruan Tinggi saat ini tak ubahnya seperti
perusahaan karena dikelola secara privat, baik perguruan tinggi negeri maupun
swasta. Seperti yang ada pada beberapa Peraturan Pemerintah yang muncul di
tahun tahun 2000 yang mengesahkan Penerapan Skema Badan Hukum di Pendidikan
Tinggi Indonesia (poin konsideran KUHPer), hal ini menjadi awal privatisasi
kampus, baik di Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta. Sehingga menyebabkan
biaya pendidikan di perguruan tinggi menjadi sangat besar.
Upaya-upaya yang dilakukan oleh
aktivis dan para pemerhati pendidikan sebenarnya membuahkan hasil. Undang -
Undang Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan sudah dinyatakan batal
oleh Mahkamah Konstitusi. Kutipan Putusan Pembatalan UU BHP oleh MK tahun 2010:
“ … dalam keadaan tidak adanya
kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP maka sasaran yang
paling rentan adalah peserta didik yaitu dengan cara menciptakan pungutan
dengan nama lain di luar biaya sekolah atau kuliah yang akhirnya secara
langsung atau tidak langsung membebani peserta didik.”
“Kewenangan institusi pendidikan
untuk mencari dana secara otonom berpotensi melanggar hak atas pendidikan bagi
peserta didik.”
“Otonomi pengelolaan pendidikan
tinggi bukan merupakan sebuah keharusan dalam mencapai tujuan Negara untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, bahkan dapat mengagalkannya.”
Sehingga sebenarnya, Mahkamah
Konstitusi sudah secara jelas menyebutkan bahwa UU BHP itu sendiri telah
melanggar hak atas pendidikan bagi para peserta didik yaitu mahasiswa. Namun,
upaya tersebut mengalami ganjalan karena pemerintah memang tidak berniat untuk
menghapuskan privatisasi pada kampus perguruan tinggi. IMHERE dari Bank Dunia
di tahun 2010 bahkan menyebutkan perlu ada landasan hukum baru untuk praktik
Badan Hukum, khususnya badan hukum pendidikan. Sehingga pemerintah kita yang
latah malah mengesahkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi yang masih berlaku sampai sekarang yang menjadi penguatan legitimasi
hukum atas praktik privatisasi
Permasalahan Pendidikan Serta
Rekomendasi untuk Pemerintahan Baru
kampus
ala Badan Hukum seperti pada UU BHP. Sehingga berlakunya UU Dikti sebenarnya
tidak membawa perubahan yang signifikan bahkan UU Dikti memberikan legitimasi
yang lebih kuat untuk praktik dan trend yang sudah berjalan sejak tahun 2000.
Berkaca dari hal yang disampaikan di
atas dapat disimpulkan bahwa perjuangan mewujudkan kuliah murah menerima
pukulan; mundur ke belakang dan biaya kuliah semakin mahal serta akses terhadap
Pendidikan Tinggi menjadi semakin eksklusif. Banyak universitas menganggap
tantangan yang dihadapi adalah dari luar bukan dari dalam. Perubahan itu
memaksa universitas untuk mereposisi dirinya dari semula sebagai knowledge
creation menjadi knowledge production. Perguruan tinggi tidak lagi
mengikuti Tri Dharma Perguruan Tinggi dan makin terpisah dari Negara. Universitas
yang tadinya ada dalam level national state, yang seharusnya mengabdi pada
kepentingan nasional sekarang berubah menjadi mengabdi pada kepentingan global
juga.
Otonomi pendidikan tinggi hari ini
adalah otonomi kelembagaan yang hanya dipahami secara instrumentasis dan
teknis. Sehingga otonomi hanya dimaknai sebagai teknik-teknik manajerial dan
perspektif kewirausahaan menjadi lebih mengemuka. Struktur pembentukan
keputusanpun tidak lagi terdesentralisir melainkan hanya berada di tangan
pejabat professional (rektor). Elit yang berkuasa dapat mengendalikan perguruan
tinggi dengan sewenang-wenang dan melanggar kebebasan akademis.
Permasalahan di dunia Perguruan
Tinggi tidak hanya berakhir pada masalah biaya pendidikan yang semakin mahal
dan privatisasi kampus namun juga dalam hal pembatasan demokratisasi mahasiswa
di dalamnya. Seperti yang dapat kita lihat sekarang Pemerintah dan perguruan
tinggi, terus berusaha memberangus nilai-nilai demokratisasi mahasiswa di
kampus. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa NKRI berdiri adalah hasil
perjuangan yang terpimpin dalam sebuah organisasi rakyat melawan kolonial
asing. Demikian pula dalam sejarah panjang perjuangan saat ini, organisasi
menjadi sebuah keharusan yang wajib hukumnya diberi kebebasan untuk berekspresi,
berpendapat dan berserikat. Namun, saat ini kebebasan berorganisasi di kampus
menjadi sebuah formalitas semata saja di Republik ini. Sebagai contoh berikut
beberapa kasus pembatasan demokratisasi di kampus:
1. Drop out (DO) yang dialami
oleh 6 mahasiswa Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) karena berdemonstrasi
dan mengkritisi kebijakan kampus. Saat ini kasus mahasiswa Untag tersebut masih
dalam proses gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Permasalahan Pendidikan Serta
Rekomendasi untuk Pemerintahan Baru
2. Drop out (DO) mahasiswa
Universitas Pancasila (UP) pada tahun 2013 setelah menjalankan kegiatan latihan
kepemimpinan bersama organisasinya di dalam kampus.
3. Drop out (DO) terhadap
mahasiswa Universitas Nasional yang mengkritisi kebijakan jam malam kampus.
Pimpinan mahasiswa yang diberhentikan dikaitkan dengan maraknya penggunaan
narkoba di Universitas Nasional, padahal tidak bisa dibuktikan bahwa mereka
positif menggunakan narkoba.
Apabila kita merujuk kepada
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi di Pasal 77 yang
mengatur tentang Organisasi Mahasiswa berbunyi;
1. Mahasiswa dapat membentuk
organisasi kemahasiswaan
2. Organisasi mahasiswa paling tidak
memiliki fungsi untuk mewadahi, mengembangkan, memenuhi, dan mengembangkan
tanggung jawab sosial.
3. Organisasi mahasiswa sebagaimana
yang dimaksud dalam ayat 1 merupakan organisasi intra kampus
Pada pasal 77 ini dapat kita nilai
bahwa budaya kampus yang mengekang kebebasan berorganisasi pada masa otoriter
Soeharto masih tetap berlaku di kampus sampai saat ini. NKK/BKK berkembang dan
tetap tumbuh subur dalam UU Pendidikan Tinggi. Perampasan hak demokratis
mahasiswa semakin nyata, dimana semakin hilangnya kebebasan berorganisasi,
mengeluarkan pendapat, menjalankan aktfitas dan kebudayaan lainnya di dalam
kampus. Normalisasi kampus tetap dilanggengkan agar mahasiswa semata-mata fokus
dengan kegiatan akademik, dies natalis, menwa, minat bakat dan lain-lain. Dan
parahnya lagi pasal 77 ayat 3 tersebut, sesungguhnya adalah bentuk diskriminasi
terhadap mahasiswa-mahasiswa untuk mendapatkan hak atas kebebasan untuk
berorganisasi. Perguruan tinggi seakan-akan merawat iklim demokrasi di kampus
melalui organisasi intra saja, tanpa memaknai bahwa mahasiswa-mahasiswa harus dijamin
pula membentuk organisasi yang benar-benar lahir dari aspirasi mahasiswa itu
sendiri. Diskriminasi ini pun masih dikuat dengan SK Dirjen Dikti No. 26 Tahun
2002 Tentang pelarangan organisasi ekstra di kampus. Lagi-lagi kebebasan
berdemokrasi di kampus dipasung dengan regulasi dan menanamkan paradigma
organisasi intra dan ekstra yang sesungguhnya tidak mencermikan kebebasan alam
berdemokrasi di kampus.
Permasalahan Pendidikan
Serta Rekomendasi untuk Pemerintahan Baru
Anggaran Pendidikan
Dapat kita lihat bersama bahwa
anggaran pendidikan merupakan salah satu permasalahan krusial dalam
penyelenggaraan pendidikan kita. Memang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) kita mengalokasikan 20 % anggarannya untuk digunakan di sektor
pendidikan namun ternyata penggunaan anggaran tersebut tidak murni hanya
digunakan untuk operasional dana pendidikan.
Di dalam 20 % anggaran pendidikan
tersebut juga sudah masuk anggaran belanja guru dan tenaga kependidikan untuk
seluruh wilayah Indonesia juga anggaran pendidikan untuk sekolah kedinasan
seperti Akademi Militer, Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) juga
ditanggung oleh anggaran 20 % APBN tersebut, bukannya ditanggung oleh institusi
penyelenggara pendidikan kedinasan tersebut. Sehingga dana pendidikan untuk
operasional institusi pendidikan umum menjadi semakin sedikit dan tidak bisa
terserap dengan maksimal.
Belum lagi sudah menjadi rahasia
umum bahwa anggaran pendidikan banyak dikorup terutama di tingkat pemerintah
daerah, sehingga anggaran pendidikan yang benar-benar dapat dinikmati siswa
menjadi sangat sedikit. Sehingga tidak heran, kualitas pendidikan kita
begini-begini saja. Dengan sarana prasarana yang terbatas karena tidak pernah
diperbaharui (akibat dikorup dan tidak maksimalnya dana pendidikan dikucurkan).
Apabila permasalahan ini dibiarkan berlarut-larut. Dapat dipastikan kualitas
pendidikan kita tidak akan bertambah baik ke depannya.
Tenaga Kependidikan
Solusi kunci yang dibutuhkan dalam
memperbaiki pendidikan di Indonesia sebenarnya adalah membenahi guru dari
hulu-nya (LPTK). Apabila guru berkualitas maka murid akan berkualitas, kalau
guru dan siswanya berkualitas maka sekolah berkualitas, kalau sekolah
berkualitas maka daerah berkualitas, dan kalau daerah berkualitas maka
Indonesia akan lebih baik. Sehingga rumus kunci penyelesaian permasalahan
pendidikan di Indonesia adalah pembenahan kualitas guru, seperti yang Ki Hadjar
Dewantara pernah bilang “Tidak ada murid yang bodoh, yang ada hanyalah guru
yang tidak bisa mengajar”. Sehingga pemerintah haruslah memikirkan formula
tepat untuk mencetak guru-guru handal yang dapat membawa murid-muridnya menjadi
handal juga. Bukan guru-guru dengan pengetahuan seadanya yang juga hanya akan
membawa muridnya memiliki pengetahuan yang seadanya. KOMITE NASIONAL
PENDIDIKAN | 10 Permasalahan Pendidikan Serta Rekomendasi untuk
Pemerintahan Baru
Guru
seharusnya merupakan profesi yang diisi oleh orang-orang yang paling unggul dan
pandai di bidangnya. Bukan oleh orang-orang sisa yang tidak mendapatkan tempat
di bidang lain. Pola rekrutmen dan pendidikan bagi calon guru haruslah
diperhatikan.
Di pendidikan dasar dan menengah
masih banyak guru yang dipekerjakan dan dibutuhkan keahliannya namun masih
berstatus honorer. Di perguruan tinggipun terdapat kecenderungan semakin
meningkat jumlah tenaga kerja honorer dibanding yang tetap. Bagaimana mungkin
menjadikan institusi pendidikan menjadi lebih baik lagi apabila kualitas diri
serta kesejahteraan diri tenaga kependidikan tidak pernah diperhatikan.
Pemerintah baru ke depannya harus dapat memformulasikan kebijakan yang tepat
untuk menanggulangi permasalahan ini. Kondisi di perguruan tinggi diperburuk
dengan banyak akademisi menjadi politikus karena perebutan jabatan-jabatan
strategis di kampus.
Rekomendasi
Berkaca dari hal-hal yang sudah
banyak disebutkan tersebut tentu saja kita dapat menarik kesimpulan dan
rekomendasi kepada Pemerintahan Baru. Adapun rekomendasi yang dapat kita
sampaikan yaitu:
1. Dalam Hal Pendidikan Dasar dan
Menengah:
a. Hapus Ujian Nasional. Gunakan
Ujian Nasional hanya digunakan untuk memetakan kualitas pendidikan di tiap
daerah sebagai alat bantu pengembangan dan intervensi pendidikan berupa affirmative
action bagi sekolah yang belum memenuhi standar nasional. Pemetaan
pendidikan tidak harus dilakukan setahun sekali, dan tidak harus dilakukan di
akhir tahun kelas. Kembalikan Kebijakan kelulusan pada sekolah dan guru sebagai
pendidik sesuai dengan amanat UU Sisdiknas bukannya diserahkan kepada mekanisme
Ujian Nasional yang sebagaimana kita ketahui sangatlah penuh kecurangan dan
tidak sehat.
b. Ujian Akhir bersifat high-stakes
untuk menilai kualitas pendidikan nasional dilakukan pada akhir jenjang
sebelum siswa masuk ke Perguruan Tinggi. Ujian akhir ini hanya menguji hal-hal
fundamental yang penting dikuasai setiap lulusan SMA sebagai modal pembangunan
bangsa (Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, dan Sains). Ujian Akhir
ini dilaksanakan oleh sebuah lembaga independen yang tidak berada di bawah
kewenangan Kemendikbud secara otentik. Karena memang orang yang paling
Permasalahan Pendidikan Serta
Rekomendasi untuk Pemerintahan Baru
mengetahui kemampuan para siswa
tentu saja guru-gurunya yang bersama mereka selama sekolah.
c. Hapus Kurikulum 2013. Pemerintah
harus menerapkan kurikulum yang beragam sesuai dengan kebutuhan dan potensi
setiap daerah. Pemerintah juga harus memperhatikan pengembangan kapasitas guru
dan infrastruktur dalam penerapan kurikulum nasional. Guru harus menjadi perhatian
yang utama dalam pembuatan kurikulum.
2. Dalam Hal Pendidikan Tinggi:
a. Pemerintah seharusnya melakukan
penyegaran birokrasi di lingkungan Kemendikbud khususnya Dirjen Dikti.
Birokrat-birokrat Dikti yang pro privatisasi kampus haruslah diganti supaya
tujuan pendidikan tinggi tidak melenceng sebagaimana mestinya.
b. Lebih jauh Undang-Undang Nomor 12
tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi haruslah ditinjau ulang dan dicabut, serta
skema badan hukum di bidang pendidikan haruslah dihapuskan dengan demikian
Pendidikan Tinggi yang Ilmiah dan Demokratis dapat terwujud.
c. Untuk menjaga kualitas kampus
serta melindungi hak-hak warga Negara agar bisa mengenyam kuliah, Perguruan
Tinggi seharusnya mewujudkan sistem penerimaan tunggal nasional serta sistem
pembiayaan tunggal kampus.
d. Kebebasan akademik, kebebasan
mimbar kebebasan berpendapat, berorganisasi di dalam kampus serta kebebasan
akademik dan otonomi keilmuan mahasiswa haruslah dijaga dan difasilitasi oleh
kampus. Diskriminasi dalam kehidupan berorganisasi di kampus harus dihapuskan,
sebab mendirikan organisasi adalah hak mahasiswa yang harus dihargai dan
dijamin.
e. Adanya kesinambungan antara
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Permasalahan Pendidikan Tinggi kita
karena kita hanya mendapatkan residua atau ampas dari pendidikan dasar dan
menengah. Energi mahasiswa sudah dihabisi di tingkat sekolah. Sekolah menguras
energy dan menjadikan mahasiswa menjadi acuh terhadap pengembangan dirinya.
KOMITE NASIONAL PENDIDIKAN | 12 Permasalahan Pendidikan
Serta Rekomendasi untuk Pemerintahan Baru
3. Dalam Hal Anggaran Pendidikan
a. Politik Anggaran 20% APBN untuk
Pendidikan haruslah dijalankan dengan ketat dan Realokasi anggaran belanja
pegawai dikeluarkan dari kuota 20%.
b. Pemerintah harus memaksimalkan
penerimaan pajak untuk alokasi pendidikan.
c. Menyediakan anggaran setidaknya
80 Triliun rupiah untuk pendidikan tinggi dalam menjalankan mandate Pasal 13 UU
No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya untuk mewujudkan pendidikan tinggi yang mengarah ke
cuma-cuma.
4. Dalam Hal Tenaga Kependidikan
a. Pemerintah bertanggungjawab
mengembangkan profesionalisme guru melalui pelatihan dan pengembangan subjek
ajar dan keterampilan pengajaran untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
b. Mengangkat guru dan tenaga
kependidikan yang berstatus honorer untuk menjamin kualitas kerja dan
kesejahteraan.
c. Menghapus sistem ketenagakerjaan
layaknya swasta ataupun perusahaan, seperti sistem kontrak, outsourcing,
dan sebagainya.
5. Dalam Hal Sistem Pendidikan
Nasional
Ubah Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UU No. 20 Tahun 2003). Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional
merupakan akar dari berbagai persoalan pendidikan di Indonesia. UU tersebut
cukup banyak diuji di Mahkamah Konstitusi dan banyak pasal yang sudah
dibatalkan. Menyelesaikan berbagai masalah pendidikan dapat dimulai dari
mengubah sistem pendidikan nasional. Pemerintah harus mampu melakukan assessment
yang partisipatif dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan untuk mencari
solusi bersama membangun system pendidikan nasional.
“Pendidikan dan pengajaran di dalam
Republik Indonesia harus berdasarkan kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa
Indonesia, menuju ke arah kebahagiaan batin serta keselamatan hidup lahir.”
(Ki Hajar Dewantara)
sumber: http://www.bantuanhukum.or.id/web/wp-content/uploads/2014/09/Permasalahan_Pendidikan_Serta_Rekomendasi_untuk_Pemerintahan_Baru.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar