TUGAS
12 PROFESI KEPENDIDIKAN
METODE
PEMBELAJARAN SENI
Metode ekspresi bebas pada dasarnya adalah suatu
cara untuk membelajarkan siswa agar dapat mencurahkan isi hatinya dalam bentuk
karya seni rupa. Agar metode ini tercapai secara maksimal, maka perlu dilakukan
:
Tawarkan
dan tetapkan beberapa pilihan tema sebagai perangsang daya cipta
Tetapkan
beberapa pilihan media yang cocok
Jelaskan
jenis kertas serta alas an pemilihan kertas tersebut
Jelaskan
bentuk kegiatan menggambar tersebut
Metode ekspresi bebas identik dengan metode ekspresi
– kreatif atau metode kerja cipta. Metode ini merupakan pengembangan dari
pendapat Victor Lowenfield yang menganjurkan agar setiap guru yang bermaksud
mengembangkan kreasi siswanya untuk bebas berekspresi ( free expression ) atas
dasar tersebut metode ini sering disebut metode ekspresi – kreatif. Dalam
pelaksanaan metode ini, kehadiran guru memiliki peran sangat kecil bahkan
hampir tidak diperlukan. Metode hasil kerja cipta dapat di terapkan dalam
kegiatan menggambar dekorasi, mendesain benda – benda kerajinan, menggambar
reklame dan sebagainya.
Langkah – langkah kegiatan metode kerja cipta
sebagai berikut :
a. Guru
memberikan pengarahan yang berfokus pada kedudukan konsep dalam proses
kelahiran suatu karya.
b. Siswa
mencoba menuangkan suatu konsep pada desain gambar dekorasi, reklame atau
barang –barang kerajinan yang akan dibuat.
c.
Selama proses pengerjaan, guru menganjurkan sumbang saran antar siswa
terjadi.
d. Guru
memberikan saran, petunjuk dan pengarahan mengenai konsep yang dikemukakannya
serta memberi petunjuk kepada siswa yang mengalami hambatan.
e. Selama
proses kerja berlangsung, keterampilan – keterampilan dasar dan menengah sudah
harus betul – betul dikuasai.
Pendidikan Seni Budaya adalah istilah baru yang muncul dalam
kurikulum pendidikan seni di sekolah kita pada saat ini. Karena merupakan
istilah yang baru, maka banyak sekali guru-guru kesenian kita yang masih belum
akrab dan bahkan meraba-raba dalam memberikan materi Pendidikan Seni Budaya ini
kepada peserta didiknya. Hal ini tercermin dari beberapa satpel yang dibuat
oleh para guru (walau Pendidikan Seni sudah berubah menjadi Pendidikan Seni
Budaya) masih relative tidak ada perbedaan dengan yang lama dalam menentukan
tujuan ataupun kompetensi dasar pembelajarannya. Selanjutnya pertanyaannya,
kalau dari sisi materi tidak berbeda perlukah muncul istilah Pendidikan Seni
Budaya dalam kurikulum sekolah kita?
Sejak Orde Baru, pendidikan kesenian yang syarat dengan
pendidikan moralitas, etika atau apa pun yang bersifat pelestarian atau
pengembangan nilai-nilai luhur budaya bangsa di sekolah kita nyata terlihat
dikesampingkan, karena pemerintah pada saat itu sangat konsen terhadap pendidikan
yang berorientasi pada teknologi atau pun eksak. Sampai saat ini pun (walau
sudah jelas Pendidikan Seni masuk dalam kurikulum intra di sekolah) tidak
sedikit Kepala Sekolah yang belum menyelenggarakan Pendidikan Seni sebagai
pendidikan yang sangat penting dikembangkan untuk anak didiknya. Pemahaman
tentang tidak pentingnya pendidikan seni di sekolah semacam ini bukan saja berkembang di lembaga-lembaga
pendidikan kita, tetapi masyarakat pun juga tidak sedikit yang kena virus
semacam ini; yakni, menganggap bahwa pendidikan seni itu tidak memiliki
kontribusi atau peran penting bagi kehidupan manusia di masa depan. Seni
dianggap tidak bisa menyelesaikan persoalan hidup manusia, tidak bisa membuat
orang menjadi kaya, tidak bisa menjamin status seseorang, dan masih banyak lagi
alasan yang bisa dikemukakan. Mereka telah terjebak dengan pemahaman bahwa,
orang yang pandai hanyalah orang-orang yang mengerti dan menguasai bidang eksak
dan teknologi, sedangkan bidang kesenian dianggap sebagai sekumpulan orang yang
sangat termarginalkan.
Pada kenyataannya (bila kita perhatikan secara seksama) saat
ini perkembangan kesenian kita baik dalam konteks pendidikan atau keseniamanan
relative belum mampu memberikan kontribusi secara signifikan terhadap
perkembangan budaya kita. Lantas kalau hal ini benar, kemudian siapa yang harus
dipersalahkan? Lembaga Pendidikan? Kepala Sekolah? Guru? Seniman? Masyarakat?
Pemerintah? Peserta didik? Sistem Pendidikan? Atau yang lain? Rupanya tidak
perlu kita mempersalahkan satu sama lain, karena semua ini tentunya akan saling
mengkait seperti lingkaran setan, oleh karenanya dalam menyelesaikan persoalan
ini kata orang bijak marilah kita introspeksi terhadap diri kita masing-masing.
B.
Pendidikan
Seni Budaya
Kita setidaknya sedikit merasa lega ketika Pendidikan Seni
masuk ke dalam kurikulum intra di sekolah, walau mungkin bila dilihat dari
jumlah jam yang dialokasikan atau disediakan tampaknya belum cukup memadai
secara ideal. Mengapa demikian, karena dari jam yang disediakan, dirasa tidak sebanding
dengan materi yang ingin disampaikan oleh seorang guru. Di sini guru dituntut
untuk menyampaikan berbagai cabang kesenian, seperti: seni tari, seni musik,
seni drama, seni rupa dan kerajinan. Untuk membahas salah satu cabang seni
saja, mungkin waktu yang disediakan belum tentu bisa tuntas apalagi membagi
waktu untuk berbagai cabang seni tersebut. Lalu, kalau masalahnya demikian
apakah perlu kita berbondong-bondong menghadap ke Menteri Pendidikan Nasional
guna meminta tambahan jam untuk matapelajaran Pendidikan Seni di sekolah?
Sebelum pelajaran seni budaya ini masuk dalam kurikulum di
sekolah, banyak sekali sekolah-sekolah yang tidak mau peduli terhadap
pendidikan kesenian. Kalau toh ada yang peduli, tak pernah mau berusaha untuk
mencari guru pamong yang memiliki kompetensi di bidang studi ini, sehingga
kualitas pembelajarannya akan semakin bagus Pelajaran seni rupa diangap dapat
mewakili matapelajaran kesenian, karena secara teknis cabang seni ini memang
tidak merepotkan penyelenggara pendidikan. Oleh karenanya hampir disemua
sekolah matapelajaran seni cukup diwakili dengan pelajaran seni rupa dan
ketrampilan, sedangkan seni lainnya nyaris tidak pernah menjadi pertimbangan
untuk dikembangkan di sekolah. Ironisnya bila ada salah satu sekolah yang ingin
memaksa hadirnya seni pertunjukan disekolah, diambilah guru (seni rupa atau
yang lebih parah guru olahraga , matematika, dan mungkin bahasa Inggris) yang
sekiranya memiliki ketrampilan di bidang seni tersebut dibebani untuk
mengajarnya, sehingga dalam hal ini kompetensi guru secara kualitas perlu
dipertanyakan. Adalagi sekolah yang sudah memiliki guru kesenian (seni
pertunjukan), tetapi tidak pernah di beri tanggungjawab mengajar kesenian
(justru diberi jam untuk mengajar Bahasa Daerah, Indonesia dan lainnya) karena sekolah tidak punya kehendak untuk
memasukan matapelajaran seni dalam pendidkan di sekolahnya.
Gambaran kondisi semacam ini tentunya sangatlah menyedihkan
bagi orang yang berkecipung dan memahami seberapa jauh dampak pendidikan
kesenian dalam kehidupan masyarakat dan bermasyarakat. Ketika masyarakat sudah
mulai menunjukan ekspresinya melalui acam mengancam atau demontrasi dengan laku
yang anarki, orang mulai mengkaitkan masalah pendidikan etika dan estetika
sebagai salah satu biang keladi yang harus bertanggungjawab. Kenapa demikian,
karena disinyalir ada keterkaitan yang sangat erat antara pendidikan kesenian
dengan sikap moral seseorang.
Munculnya matapelajaran Seni Budaya di sekolah merupakan
sebuah pemikiran yang sangat tepat (kalau tidak mau dikata terlambat), dimana
pada saat ini masyarakat kita sudah mulai menunjukan situasi krisis
multidemensi termasuk di antaranya kebudayaan. Pendidikan kesenian harus mampu
memiliki kontribusi positif terhadap perkembangan kebudayaan kita (atau
setidaknya aspek moralitas bangsa). Apabila dulu pendidikan seni kita terlalu
konsen terhadap masalah-masalah bentuk dan teknik belaka, maka saat ini
haruslah merubah cara pandang dengan memperdalam jangkauan pembelajaran seni
melalui perspekti yang lebih luas, yakni kajian terhadap nilai-nilai historis,
filosofi, etika/moral, dan keindahan. Pendidikan Seni Budaya adalah sebuah
matapelajaran yang diharapkan mampu memberikan pembelajaran seni melalui
perspektif kebudayaan seperti tersebut.
C.
Pendidikan
Seni Budaya Sebagai Bidang Studi di Sekolah
Seperti telah dikemukakan pada awal tulisan ini, bahwa
matapelajaran Seni Budaya merupakan istilah baru yang muscul dalam kurikulum
kita saat ini. Bila dibandingkan dengan istilah matapelajaran pendidikan seni
(kesenian) yang dulu juga pernah muncul dalam kurikulum tentunya memiliki makna
yang berbeda. Perbedaan yang mencolok di sini adalah munculnya istilah atau
kata budaya, sehingga makna pengertiannya menjadi sangat berbeda; dan tentunya
perbedaan ini harus tercermin sampai pada implementasi tujuan, strategi atau
proses pembelajarannya.
Kalau tidak salah, sampai saat ini belum ada panduan yang
secara spesifik menjelaskan bagaimana yang baik (benar) dalam peaksanaan
pembelajaran Seni Budaya ini, dan bahkan sejauh mana tuntutan standart
kompetensi yang ideal diperlukan untuk mata pelajaran ini. Walau dalam
kurikulum telah menyebutkan standart kompotesi yang hendah dicapai, namun tugas
seorang guru masih dibebani lagi untuk berlaku kreatif dalam menafsirkan segala
kemungkinan yang terjadi dalam pengembangannya. Hal ini sangat berbeda dengan
mata pelajaran ilmu pasti, semuanya telah dijabarkan secara jelas dan pasti.
Apakah pelajaran seni budaya juga akan dibuat seperti ilmu pasti? Tentunya
tidak karena dalam matapelajaran seni budaya memiliki karakter yang sangat khas
untuk dapat dikembangkan dalam proses pembelajarannya. Dalam hal ini tentunya
diperlukan proses dialogis antara sesame guru Seni Budaya dalam rangka
menyamakan persepsi matapelajaran ini.
Bila dilihat secara substansial, pendidika seni dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yakni:
1. Pembelajaran seni yang mengarahkan semua aspek kompetensi
matapelajaran menuju pada kemampuan peserta didik untuk dapat melakukan atau
terampil secara teknik tentang seni yang diajarkan. Harapannya setelah peserta
didik itu terampil, dapat melestarikan (mewarisi) dan mampu mengembangkan
kesenian tersebut. Pembelajaran semacam ini biasanya dilakukan oleh lembaga
pendidikan yang secara khusus mencetak peserta didiknya untuk menjadi seniman
atau sejenisnya secara professional, misalnya di sekolah tingkat menengah ada
SMKN 9 (dulu SMKI), di tingkat perguruan tinggi ISI, STSI, STKW Surabaya dan
sebagainya.
2. Pembelajaran seni yang tidak terlalu menuntut peserta
didiknya menguasai secara teknik tentang kesenian yang dipelajari, namun lebih
mengarah pada pembelajaran dengan menggunakan media seni sebagai pendekatan
tercapainya pendidikan secara umum. Dalam hal ini pendidikan seni semata-mata
tidak untuk kepentingan seni itu sendiri, melainkan mengarahkan pada pencapaian
keseimbangan antara aspek emosional dan rasional, serta aspek kognitif,
afektis, dan psikomotorik peserta didik. Jenis pendidikan seni semacam ini
mungkin lebih cocok untuk lembaga pendidikan umum, seperti SD, SMP, SMU dan
sejenisnya.
Dalam rangka memperjelas kompetensi yang akan dibuat dalam
pembelajaran seni, tidak ada salahnya bila terlebih dahulu seorang guru
memahami fungsi dari pendidikan seni. Ada beberapa fungsi pendidikan seni, di antaranya:
1. Sebagai media bermain dan berekspresi, diharapkan peserta
didik dapat memperoleh pengalaman yang bersifat rekreatif, mau dan mampu
menuangkan ekspresi jiwanya dalam rangka menunjukan eksistensi kepribadiannya.
2. Sebagai media pengembangan bakat dan kreativitas, artinya
selain dapat digunakan sebagai wahana dalam mengembangkan bakat (kemampuan
bawaan) juga sebagai media pengembangan kemampuan daya cipta peserta didik.
3. Sebagai media komunikasi, yakni dengan kegiatan berkesenian
baik melalui proses kreatif maupun bentuk kekaryaannya dapat membangun pengalaman komunikasi antara
individu dan masyarakat/lingkungan atau sebaliknya.
4. Sebagai media membangun sensitivitas etik dan estetik,
merupakan pembelajaran seni yang diarahkan pada kepekaan peserta didik terhadap
kaidah-kaidah nilai etika dan estetika yang terkandung dalam sebuah kesenian
5. Sebagai media pengembangan pengetahuan, karya seni yang
diciptakan oleh manusia ternyata bukan sekedar memiliki nilai-nilai emosional
semata, namun juga memiliki daya rasionalitas yang kuat. Berbagai produk
kesenian tercipta atas pengetahuan seseorang terhadap fenomena segala kedihupan
yang ada di alam semesta ini. Oleh karenanya masih sangat relevan bila
pendidikan kesenian dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan.
Terkait dengan materi pembelajaran seni di sekolah, biasanya
kita dapat memisahkan ke dalam 3 (tiga) wilayah bahasan, yaitu:
1. Wilayah pengetahuan Seni
Merupakan wilayah pembelajaran yang banyak mengasah atau
melatih peserta didik untuk mengembangkan aspek kognitifnya. Kemampuan kritis
menelaah karya seni dan permasalahannya menjadi topik yang sangat penting dalam
pembahasan materi pembelajarannya.
Pendekatannya bisa dilakukan melalui konsep pendekaatan lintas disiplin,
misalnya sejarah, social, budaya, filsafat, dan sebagainya.
2. Wilayah apresiasi seni
Wilayah ini memiliki kecenderungan untuk mengantarkan
peserta didik pada perkembangan ranah afektifnya. Kegiatan apreseasi seni ini,
biasanya berkait dengan kegiatan pengamatan karya seni yang kemudian
dilanjutkan dengan penilaian. Jenis apresiasi ada yang bersifat aktif dan ada
pula yang dilakukan secara pasif. Pengamatan aktif artinya kegiatan pengamatan
karya yang kemudian dilanjutkan dengan
sikap kritis yang dapat memacu melahirkan karya-karya inovatif dan juga
menubuhkan rasa cinta seseorang, sedangkan yang pasif hanya sekedar mengamati
karya dan selanjutnya lepas dari agannya
3. Wilayah pengalaman kreatif
Kecenderungannya merupakan kegiatan pembelajaran yang
berkenaan dengan cara-cara dalam melakukan proses kreatif atau pembuatan karya
seni. Sasaran pembelajarannya lebih mengarah pada ranah psikomotorik. Dalam
wilayah ini hal yang perlu dipersiapkanuntuk siswa adalah kemampuan mengembangkan
gagasan, interpretasi, imaginasi, dan menangkap fenomena lingkungan sebagai
sumber tema; penguasaan teknik serta pengetahuan berbagai media dan teori
komposisi; serta kemampuan memanage sebuah pameran atau pertunjukan.
Dari ulasan di atas, kemudian pendidikan seni budaya di
sekolah perlukah diarahkan pada konsep pendidikan yang berorientasi kepada
ketrampilan teknik yang pada akhirnya peserta didik diharapkan mampu sebagai
pewaris dan pengembang kesenian kita? Sebagai matapelajaran di sekolah umum
tentunya berat sekali. Banyak para guru yang merasa stress ketika anak didiknya
tidak mampu melakukan teknik dengan baik yang akhirnya pada setiap ada kegiatan
yang dinominasikan tidak pernah meraih nominasi. Indikasi semacam ini
menunjukan bahwa kita sebagai guru seolah memelihara sifat arogansi kita dengan
mengeksploitasi anak didik untuk kepentingan pribadi (kadang mengatasnamakan
kepentingan lembaga). Oleh karenanya konsep pendidikan seni budaya di sekolah
sebaiknya mengadopsi teori bahwa pendidikan seni adalah pendidikan yang
menggunakan seni sebagai media untuk mencapai tujuan pendidikan secara umum,
wilayah pembelajarannya lebih ditebalkan pada pengembangan aspek Kognitif dan
Afektif, sedangkan psikomotoriknya walau menjadi tuntutan namun tidak terlalu
menghalangi siswa untuk belajar seni budaya.
D.
Lesson
Study Sebagai Alternatif Pendekatan
Kegiatan Pembelajaran Seni Budaya di Sekolah
Akhir-akhir ini perkembangan pendidikan kita sudah mengalami
percepatan peningkatan kualitas. Hal ini
terjadi setelah berbagai peristiwa yang dialami bangsa kita mulai menerima
dampak dari system pendidikan yang tidak pernah diurus secara serius oleh
pemerintah selama ini. Peristiwa keberanian seorang siswa mengacam pengawas UAN
beberapa waktu lalu jelas turut andil dalam mencoreng system pendidikan kita.
Tonggak keseriusan pemerintah dalam tanggungjawabnya terhadap pendidikan di
Negara ini adalah dengan dinaikannya anggaran pendidikan dalam APBN sebesar 20%
serta telah disahkannya undang-undang tentang guru dan dosen. Berbagai upaya
yang mengarah pada peningkatan kualitas mutu pendidikan telah banyak dilakukan
oleh pemerintah melalui proyek-proyek yang diberikan kepada lembaga-lembaga
pendidikan di negeri ini.
Perubahan-perubahan paradigma dalam pendidikan telah banyak
dilakukan, implementasi yang sangat dapat kita rasakan sebagai guru kesenian
adalah lahirnya bentuk kurikulum yang dikenal dengan KBK dan kemudian
dikembangkan lagi menjadi KTSP. Karakteristik dari kurikulum ini adalah
berorientasi pada konsep pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan
menyenangkan Dari sini pula kemudian lahir berbagai strategi pembelajaran yang
dianggap lebih optimal untuk memudahkan siswa mengikuti proses belajar mengajar
di sekolah. Dalam hal ini kemudian dapat kita ketahui bahwa pendekatan
pembelajaran yang dulu lebih menggunakan pendekatan behavioritik, sekarang
berkembangan menjadi konsrtuktivitik. Ini karena faham konstruktifvistik
dianggap lebih unggul dalam memcahkan persoalan proses belajar mengajar
disekolah.
Usaha-usaha pembenahan system, strategi, metode atau apapun
namanya dalam pembelajaran, banyak dilakukan oleh para pakar melalui lembaganya
masing-masing. Hal ini merupakan sebuah reaksi dari anggapan bahwa tidak ada
pembelajaran yang sempurna. Belum lama ini Lembaga Pendidikan Tinggi
Kependidikan di Bandung (UPI) mencoba mengembangan sebuah kegiatan pembelajaran
yang diadopsi dari Jepang disebut dengan Lesson Study. Dari beberapa lembaga
pendidikan yang telah mencoba mengembangkan kegiatan ini memberikan tanggapan
yang positif terhadap peningkatan mutu pendidikan. Latar belakang munculnya
bentuk ini, merupakan reaksi kritis dari para pakar tentang belum tercapainya
peningkatan kualitas mutu pendidikan yang ideal.
Lesson Study adalah sebuah model pembinaan profesi pendidik
melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan berkesinambungan
berlandaskan prinsip-prinsip kolegalitas dan mutual untuk membangun komunitas
belajar. Adapun tujuan yang ingin dicapai, meliputi: 1) Ditemukan berbagai
model pembelajaran, 2) tercapainya komunitas belajar, 3) Terbentuknya kesetaraan
profesionalisme guru dalam proses pembelajaran.
Bentuk pelaksanaan kegiatan ini meliputi 3 (tiga) komponen,
yakni:
1. Perencanaan (plan). Guru, dosen atau pakar/seniman
atau siapa yang dipandang memiliki keahlian dibidang yang sama, berkolaborasi
rencanakan sebuah kegiatan pembelajaran yang terfokus pada siswa.
2. Implementasi (do). Seorang guru memperagakan model
pembelajaran yang sudah direncanakan, sementara guru yang lain, kepala sekolah,
pakar/seniman, pengawas dari dinas, atau bahkan orang tua wali melakukan
observasi pembelajaran di kelas, terutama untuk mengetahui aktifitas siswa
berupa interaksi siswa-siswa, siswa-bahan ajar, siswa-guru selama proses
belajar mengajar berlangsung.
3. post-class discussion (see). Setelah proses belajar mengajar selesai, guru dan observer
melakukan diskusi untuk bertukar pengalaman setelah melakukan observasi.
Diskusi bisa dipimpin kepala sekolah, guru menyampaikan kesan-kesannya selama
melaksanakan pembelajaran, selanjutnya observer menyampaikan saran-saran untuk
perbaikan pembelajaran berikutnya. Setelah itu, pada akhir semester dilakukan
kegiatan Seminar untuk berbagi
pengalaman dalam menerapkan lesson study.
Model kegiatan semacam ini tampaknya bisa digunakan sebagai
salah satu alternative pembelajaran Seni Budaya di sekolah, mengingat bahwa
karakteristik wilayah budaya kita sangat beragam; sekaligus akan membantu
keberagaman kompetensi yang dimiliki guru bidang studi Seni Budaya ini.
sumber:
http://theroolfikry.blogspot.co.id/2012/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html